26 April 2018

Ta'lim Muta'allim - Tawakal

Para pelajar harus tawakal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan soal rezeki.

Abu Hanifah meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Hasan Az Zubaidi, sahabat Rasul SAW. berkata, "Barangsiapa memperdalam ilmu agama maka dia dicukupi oleh Allah. Dan dia pasti diberi rezeki oleh Allah dari jalan yang tidak ia sangka-sangka. Dan barangsiapa sibuk memikir soal rezeki, yakni makanan dan pakaian, maka jarang sekali ia memikirkan akhlak yang mulia, dna hal-hal yang tinggi nilainya."

Ada yang berkata, "Tinggalkan kemuliaan, jangan sekali-kali kamu mengejarnya. Duduk sajalah. Semua itu tiada guna karena kamu adalah orang yang memikirkan soal makanan dan pakaian."

Ada seorang laki-laki berkata kepada Manshur Al-Hallaj, "Tuan, sudilah berwasiat kepada saya." Beliau menjawab, "Sibukkan nafsumu! sebab jika dia tidak kamu sibukkan, justru dia yang menyibukkanmu." Jadi, setiap orang harus menyibukkan dirinya dengan amal-amal yang baik, dan tidak sibuk menuruti hawa nafsu. Orang berakal tak layak cemas dengan urusan dunia. Sebab susah itu tidak dapat mengusir musibah dan tiada gunanya.

Bahkan malah membahayakan hati, akal dan badan. Dapat menghapus amal baik. Seharusnya orang muslim itu prihatin memikir urusan akhirat. Itulah yang lebih bermanfaat.

Nabi SAW. bersabda, "Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu ada dosa yang tidak dapat terhapus kecuali dengan prihatin soal mencari nafkah." Maksud sabda ini ialah prihati yang tidak melalaikan amal-amal baik, dan tidak melalaikan hati dari mengingat Allah pada waktu salat.

Boleh memikirkan soal rezeki asal tidak sampai lupa kepada Allah ketika salat, maka yang demikian itu tergolong amal akhirat.

Para penuntut ilmu harus mengurangi hubungan dengan urusan duniawi sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena it, para ulama memilih menyendiri. Menjauh dari pergaulan. Santri harus tahan menderita di saat pergi menuntut ilmu. Sebagaimana yang disabdakan Nabi Musa ketika menempuh perjalanan untuk berguru kepada Nabi Khidir. Perjalanan Nabi Musa mencari ilmu diabadikan dalam Al-Qur'an. Beliau berkata, "Sungguh benar-benar aku telah merasakan payah dalam perjalanan ini."

Hal ini supaya diketahui bahwa pergi menuntut ilmu itu tidak lepas dari kesengsaraan. Karena menuntut ilmu urusan yang amat besar dan lebih utama daripada perang, demikian menururt pendapat sebagian ulama, dan pahala itu menurut berat ringannya kesengsaraan yang dialami.

Orang yang tabah menghadapi kesulitan dan penderitaan dalam mencari ilmu niscaya ia akan merasakan lezatnya ilmu, yang mana lezatnya tak ada bandingannya di dunia.

Adalah Imam Muhammad jika belajar sampai larut malam, lalu menemukan jawaban yang menjadi kesulitannya, dia berkata, "Dimanakah kenikmatan putra-putra raja jika dibanding dengan kenikmatan yang kini aku rasakan?"

Para penuntut ilmu seharusnya tidak menyibukkan diri kecuali hanya menuntut ilmu. Terutama ilmu fiqih.

Syaikh Muhammad berkata, "Pekerjaan kami ini (menuntut ilmu) adalah sejak dari ayunan hingga ke liang kubur. Oleh karena itu orang yang berhenti mencari ilmu sesaat saja, maka dia telah mati sesat."

Suatu ketika ada orang ahli fiqih menghadap Syaikh Abi Yusuf. Namanya Ibrahi Al Jarrah. Dia datang untuk menjenguk Abi Yusuf yang sedang sakit yang menyebabkan wafatnya beliau. Kemudian beliau bertanya kepada Syaikh Ibrahim, "Mana yang lebih utama, melempar jumrah sambil mengendarai unta, atau sambil berjalan kaki?" Syaikh Ibrahim tidak bisa menjawab, lalu Abi yusuf menjawab sendiri bahwa melempar jumrah sambil berjalan kaki lebih utama dan lebih dicintai oleh nabi dan shabatnya (assabiqunal awalin).

Begitulah seharusnya seorang ahli fiqih, selalu mencurahkan seluruh waktunya untuk mengkaji hukum-hukum agama. Kalau dia berbuat demikian tentu akan memperoleh kelezatan yang amat besar.

Ada yang berkata, "Bahwa ada orang mimpi bertemu Syaikh Muhammad setelah beliau wafat." Lalu orang itu bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaan tuan ketika Naza'?" Beliau berkata, "Waktu itu aku sedang memikirkan masalah budak mukatab. Jadi aku tidak merasa kalau nyawaku telah melayang."

Ada yang meriwayatkan bahwa pada akhir hayatnya beliau berkata, "Aku selalu sibuk memikirkan masalah budak mukatab, hingga aku tidak siap-siap menghadapi kematian ini." Beliau berkata demikian karena Tawadhu' (merendah diri).

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

Foto saya
Memiliki nama asli Nur Halida, semoga Allah mengampuni dosanya. Dimulai dengan suka membaca didukung dengan kepribadian introvert, lebih mudah mengungkapkan apa yang dipikirkan lewat tulisan. "Suatu saat raga kan menghilang, tulisan yang kan jadi kenangan"

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.