“Berat ya?”
“Ya iya lah berat
neng, tong sebesar ini juga”
“Yah maaf atuh pa,
kan emang tugas bapak. Mau dibantu pak?”
“Emangnya eneng
mah bisa bantu apa?”
“Bantu doa aja pa,
biar bapak semangat kerjanya”
“Wah kalau gitu
mah sekalian doain juga biar bapa semangat kejar cinta eneng”
“Yah bapak, cinta
eneng mah udah ada yang punya”
“Saha atuh?”
“Tuh akang yang
dari tadi melototin bapak”
“Astagfirullah,
maaf atuh kang. Bapak cuma becanda”
“Lain kali jangan
gitu lagi neng, akang gak suka”
“kan Cuma becanda
atuh kang, serius wae”
“tetap gak boleh
neng, itu mah namanya memancing”
“mancing ikan?”
“eneng?”
“iya maaf akang
sayang, makasih sudah di ingetin. Nanti tegur lagi ya enengnya”
“No comment deh
akang, ayo cepat pulang”
Aku yang masih
kekanakan dan dia yang dewasa menjadi pelengkap dalam hidupku. Aku bawel dia
diam, aku marah dia diam, giliran aku diam malah dia yang bawel. Hal yang
menyenang kan dan aku sangat beruntung memiliki teman hidup seperti dirinya.
Walau terlihat manis bukan pula kami tidak pernah bertengkar, kami sering
mengalami perbedaan pendapat. Ego yang sama-sama tinggi kadang diakhiri dengan
aksi saling diam. Tidur pun beda kamar. Bukannya apa-apa, kami hanya perlu
memikirkan hal apa yang membuat kami marah dan merenungkannya.
Kami tidak saling mengenal maka
bagiku wajar saja bila hal semacam itu terjadi, perlu proses pikirku. Saat dia
meminta maaf duluan saat itu pula amarah berganti sayang. Dia yang selalu
membolak-balikkan hati ku. Dia.. Akang.. suami ku tercinta.
-Selesai-
0 komentar:
Posting Komentar