Sama seperti hari-hari kemarin, ia duduk di pondok pelakang rumah. Sebuah pondok ditepi pantai tempat nelayan mengumpulkan ikan yang didapat saat pagi hari. Pandangannya lurus kedepan, kosong tanpa harapan ditemani nyanyian ombak, tiupan angin dan matahari yang memancarkan kebahagiaan.
Sebulan telah berlalu sebentar lagi ia akan kembali ke tempatnya. Pernah suatu kali ku ajak ia naik perahu, seperti biasa ia menanggapi dengan anggukan. Hanya “iya”, “tidak” atau jawaban seperlunya yang ia keluarkan, itu sebabnya orang-orang mengenalnya seorang yang pendiam. Cukup lama ku mengenalnya, ia seseorang yang ceria setidaknya saat ia bersama teman-temannya.
Dia bukan orang yang populer itulah anggapannya. Namun ku yakin hampir satu kampus mengenalnya, setidaknya wajahnya. Aku selalu memperhatikannya, aku hanya suka melihatnya. Semakin lama ku memperhatikannya membuatku tersadar bahwa sikapnya selalu berubah-ubah. Hampir semua sifat ia punya, namun yang paling dominan adalah ketidakpeduliannya terhadap dirinya sendiri.
Ku tahu sekarang ia punya masalah, masalahnya satu yaitu ia tidak bisa kembali tepatnya tidak berusaha untuk kembali ke dirinya yang dulu. Ia sekarang lebih pendiam. Ia senang bernyanyi, mendengangkan musik, nonton drama dan banyak mengahabiskan waktu untuk hal-hal seperti itu. Aku tahu ia adalah seseorang yang suka tantangan, semakin sulit maka ia semakin tertantang. Suka semua jenis olahraga, pelajaran metematika adalah favoritnya.
Dan permasalahan terbesarnya adalah ia sekarang tidak memiliki hal yang dianggapnya menarik untuk dilakukan. Aku berpikir kenapa ia tidak mencoba mengeluarkan semua unek-unek yang ada dikepalanya lewat tulisan. Ah aku hampir lupa kalau ia sedikit perfect atau tidak percaya diri? Setidaknya saat ini ada dua orang yang benar-benar mendukungnya untuk menulis. Dan keduanya adalah gurunya.
Aku jadi teringat kalau ia memiliki sedikit perbedaan dalam menyukai orang, jika kita sering menyukai orang yang tidak pemarah maka ia tidak. Ia lebih suka guru killer, karena ia akan merasa tertantang untuk membuat guru tersebut menyukainya setidaknya mengenalnya. Namun ia sangat tidak suka dengan orang yang mengatakan kata-kata kasar.
Terakhir kali kami bertemu, ia berkata “Jika waktu bisa dikembalikan maka aku ingin kembali saat aku baru masuk SMA, namun aku hanya seorang egois yang merasa bosan dengan saat ini. Karena jika aku kembali ke masa yang aku inginkan maka orang lain mungkin akan kembali ke masa terpuruknya. Dan akhirnya ku mengerti sebuah papan yang tertancap paku walau akhirnya paku dilepas papan tidak akan kembali seperti semula. Yang bisa dilakukan adalah mengganti papannya. Namun kehidupan tidak bisa diganti karena hanya ada sekali yaitu saat ini dan itu adalah kehidupanku.”
“Kebosanan adalah dampak dari otak yang enggan berpikir yang disebabkan oleh kemalasan. Rasa bosan yang dialami dalam waktu panjang akan membuat tubuh diam dan akhirnya beku serta sulit bergerak. Sedikit demi sedikit penyakit bermunculan dan akhirnya kematianpun menjemput. Yang kita yakini kematian adalah takdir namun cara kita mati, kita sendiri yang menentukan”, lanjutnya lagi.
Ia memang tidak terduga. Sama seperti saat ini, melambaikan tangan tanda ia ingin aku mendatanginya. Ku langkahkan kaki mengabaikan sengatan pasir yang panas, terus melihatnya yang menungguku sambil tersenyum.
“Ada apa?” tanyaku setiap kali kami bertemu.
“Hanya menyapa” tawanya.
“Kau tak bosan kah? Setiap kali ku lihat kau hanya memandangi hal yang sama” ceplosku.
“Dan kau pun tak pernah bosan melihatku Wan” ejeknya. “Kau tahu awan selalu bergerak tanpa lelah, berkumpul dan menggabungkan bebannya. Jika bebannya terlalu berat dengan mudah ia melepasnya. Andaikan aku jadi awan pasti enak ya”
“Jika kau jadi awan aku akan jadi langit yang melindungimu Na”
“Jika kau jadi langit, kita tidak bisa menyatu. Jadi bagaimana caraku untuk melepaskan beban ini?”
“Kau selalu saja bercanda Na” sesalku.
“Tameng yang bagus untuk menahannya Wan, kisahku tidak seperti drama yang bisa menunggu. Kau tahu itu tapi tidak melakukan apa-apa” ucapnya datar. Sejenak kami sama-sama diam.
“Maaf” ucapku kemudian, satu kata yang tidak berdampak apa-apa.
“Kau tak punya salah, kenapa meminta maaf. Besok aku akan pulang, cukup sampai disini dan kau bisa berhenti melihatku Wan. Kita cukup dewasa untuk mengerti itu sebabnya aku selalu menahan diri dan mengabaikanmu. Selamat tinggal Nawan” ia langsung pulang setelah mengatakannya tanpa melihatku. Pikiranku berkecamuk, inginkan ia tetap disini namun tidak berani menggenggamnya sampai akhir.
Aku terlambat satu hari. Kenyataan yang membuatku menikmati hidangan ini dengan penyesalan. Ku lihat Reyhan yang sangat bahagia dihari pernikahannya, begitupun dengan Hana pikirku. Hijab yang membatasi perempuan dan laki-laki membuatku tidak bisa melihatnya. Reyhan sahabat terbaik dan terhebat yang ku miliki, ialah yang tidak pernah lelah mendengarkan dan menasihatiku. Aku tidak pernah tahu bahwa kami menyukai orang yang sama karena aku tidak pernah menyebut nama Hana, begitupun sebaliknya. Kau orang yang beruntung Rey benakku.
-Selesai-
Epilog
“Kau tahu awan selalu bergerak tanpa lelah, berkumpul dan menggabungkan bebannya. Jika bebannya terlalu berat dengan mudah ia melepasnya. Andaikan aku jadi awan pasti enak ya”
“Jika kau jadi awan aku akan jadi langit yang melindungimu Na”
Kau ingin menjadi awan karenaku, tapi aku memilih menjadi langit karena keraguanku.
Penulis: Halida Lee
0 komentar:
Posting Komentar